Minggu, 18 Maret 2012

Perpustakaan Perguruan Tinggi menghadapi Perubahan Paradigma Informasi

Latar Belakang
Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia pada saat ini belum mengalami perkembangan yang menggembirakan, terutama dalam mewujudkan perpustakaan yang dapat selalu memenuhi kebutuhan penggunanya. Berbagai macam kendala baik dari dalam maupun luar perpustakaan menjadi salah satu alasan yang mengemuka. Selain itu perdebatan antara pengembangan perpustakaan tradisional dan perpustakaan digital/elektronik semakin sering dilakukan. Namun demikian, ternyata perkembangan selanjutnya telah “mengalahkan” perpustakaan tradisional sebagai sebuah perpustakaan yang perlu dikembangkan. Pelaku perpustakaan asyik melakukan berbagai usaha untuk “memenangkan persaingan” dengan melakukan focus pengembangan terhadap perpustakaan digital elektronik. Hal ini tentu membawa ke sebuah ketimpangan dan pola pengembangan perpustakaan yang “sehat”.
Perpustakaan sebagai “jantung” perguruan tinggi haruslah dapat menjadi sebuah “roh” bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu lulusan dan civitas akademikanya. Untuk itu dukungan dari berbagai pihak perlu dilakukan agar perpustakaan dapat difungsikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini penulis berusaha untuk sedikit mengemukakan beberapa hal terkait pengembangan perpustakaan perguruan tinggi di masa yang akan datang.

Kendala-kendala

Berbagai kendala pengembangan perpustakaan perguruan tinggi secara umum antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lain di Indonesia khususnya memiliki banyak persamaan (Sulistyo-Basuki, 1994), diantaranya adalah:
  1. Masalah sentralisasi dan desentralisasi
Masalah sentralisasi dan desentralisasi seakan menjadikan momok bagi perpustakaan perguruan tinggi untuk berkembang.  Para “penganut” sentralisasi menganggap bahwa sentralisasi memungkinkan kemudahan dalam kontrol pengadaan, perlengkapan, pengolahan, dan peminjaman, sedangkan pelaku “desentralisasi” menganggap bahwa desentralisasi memberikan keuntungan akan penempatan koleksi/informasi yang lebih seseuai dengan kebutuhan pemakai dan memudahkan dalam pengelompokkan koleksi yang akan membawa dampak kemudahan pada pemakai. Permasalahan ini tidak akan pernah selesai untuk dijadikan kendala dalam perpustakaan. Menurut hemat penulis, jalan keluarnya adalah mengkolaborasikan dan mensinergikan antara kelemahan dan kelebihan kedua konsep tersebut sehingga pilihan desentralisasi atau sentralisasi tidak lagi dijadikan isyu penting dalam menentukan pengembangan perpustakaan perguruan tinggi.
  1. Masalah tenaga pengelola
Masalah ini adalah masalah yang banyak dihadapi oleh perpustakaan perguruan tinggi. Keterbatasan tenaga pengelola terutama yang ahli dan mempunyai pendidikan khusus bidang perpustakaan menjadi kendala tersendiri. Bahkan tidak sedikit yang “hanya” memanfaatkan tenaga lulusan sekolah menengah, sehingga ada keterbatasan dalam penguasaan permasalahan-permasalahan di perpustakaan. Bersyukur saat ini pendidikan bidang perpustakaan cukup menjamur di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ke depan perpustakaan perguruan tinggi harus dapat menyediakan tenaga pengelola yang professional dan mempunyai pendidikan yang cukup dalam bidang perpustakaan. Paling tidak secara rutin harus dipikirkan untuk selalu memberikan semacam bimbingan, pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengelola perpustakaan.
  1. Anggaran
Anggaran adalah permasalahan yang sampai saat ini selalu menjadi alasan tidak dapat berkembangnya sebuah perpustakaan perguruan tinggi. Memang  pada kenyataannya anggaran perpustakaaan perguruan tinggi saat ini masih ditopang oleh universitas sebagai lembaga induknya. Namun yang jadi permasalahan adalah masih minimnya perhatian universitas terhadap anggaran perpustakaan, bahkan masih banyak terdapat perpustakaan yang mempunyai alokasi dana jauh dari 5-10% anggaran universitas sesuai dengan standard yang seharusnya ada. Sudah saatnya ke depan, anggaran perpustakaan menjadi syarat mutlak bagi para calon pemimpin universitas dalam menyampaikan visi kepemimpinannya. Tentu hal ini tidaklah mudah, perlu perjuangan keras dari para pengelola perpustakaan. Disisi lain, usaha inovatif dari pengelola perpustakaan dalam mendapatkan dana juga perlu dipertimbangkan.
  1. Koleksi
Koleksi adalah salah satu hal yang selalu menjadi sorotan pengguna perpustakaan di perguruan tinggi. Tidak sedikit pengguna yang selalu mengeluh bahwa koleksi perpustakaan tidak pernah berkembang dan koleksi sudah ketinggalan jaman. Sebenarnya ini adalah salah satu akibat dari seretnya anggaran dana yang diberikan universitas kepada perpustakaan.  Salah satu solusi yang mungkin adalah melakukan usaha-usaha kerjasama dengan perpustakaan lain, sehingga ada usaha saling menguntungkan antara perpustakaan perguruan tinggi. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengadakan survey dan seleksi pengadaan koleksi yang lebih baik, sehingga anggaran dana yang minim dapat digunakan semaksimal mungkin. Hal ini untuk menghindari pemborosan, karena pembelian koleksi yang asal-asalan akan mengakibatkan ketidakmanfaatan pada koleksi yang ada. Pada berbagai perpustakaan sering kita temui koleksi yang tidak pernah digunakan sama sekali oleh pengguna selama bertahun-tahun. Tentu hal-hal semacam ini ke depan harus dapat dihilangkan.
  1. Sikap para pemakai
Pemakai atau pengguna perpustakaan sering menjadi permasalahan tersendiri. Banyaknya pemakai yang tidak tahu cara memakai fasilitas perpustakaan, pemakai tidak tahu cara menelusur informasi, pemakai yang melakukan perusakan terhadap buku, dan seterusnya merupakan serentetan sikap pemakai yang menjadikan perpustakaan semakin terpuruk. Disini perlu ada kerjasama antara pemakai dan petugas perpustakaan, perlu adanya pendidikan pemakai dan promosi perpustakaan yang baik. Hal ini penting karena dengan begitu pemakai akan lebih bisa menghargai keberadaan perpustakaan dan juga bagaimana cara menggunakan atau memanfaatkan perpustakaan yang benar.
Berdasarkan pengalaman penulis, dari beberapa kendala yang disampaikan Sulistyo-Basuki tersebut dapat ditambahkan kendala-kendala lain diantaranya adalah:
  1. Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi informasi (TI) membawa dampak tersendiri bagi perpustakaan. Perpustakaan dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi apabila tidak ingin ketinggalan dalam menggapai informasi dan memberikan pelayanan yang prima terhadap penggunanya. Perpustakaan akan memerlukan anggaran yang lebih besar untuk memenuhi tuntutan pengembangan TI ini, staf / tenaga perpustakaan dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang TI, dan pemakai perpustakaan juga mau tidak mau harus dapat menyesuaikan diri dengan fasilitas TI yang ada di perpustakaan. Sehingga ternyata apabila tidak ditangani dengan baik, perkembangan teknologi informasi ini akan menjadi kendala tersendiri bagi perpustakaan.
  1. Masalah Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan juga merupakan masalah yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.  Seringkali dalam beberapa perpustakaan pengangkatan atau penunjukkan pimpinan perpustakaan tidak didasarkan pada kompetensinya dalam bidang perpustakaan tetapi lebih pada factor politis. Hal ini jelas akan sangat mengganggu perkembangan perpustakaan.  Karena seringkali perpustakaan menjadi terbengkalai dan dinomorduakan, akhirnya perpustakaan menjadi bagian yang hidup enggan mati tak mau. Untuk itu ke depan perpustakaan perguruan tinggi selalu memerlukan pimpinan yang mempunyai komitmen dan dedikasi tinggi terhadap pengembangan perpustakaan.

Pergeseran Paradigma

Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perpustakaan dan pusat informasi juga mengalami pergeseran paradigma dalam sumber-sumber informasinya, layanannya, dan pada orientasi penggunanya, dan tanggungjawab staf/pekerja dalam layanan dan system di dalamnya. Menurut Stuert (2002), saat ini pergeseran paradigma informasi yang berakibat pada perubahan pola kerja dan orientasi institusi yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti perpustakaan dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut:
INFORMATION
PARADIGM SHIFT

OWN COLLECTIONS
ONE MEDIUM
 
VIRTUAL LIBRARY
MULTIPLE MEDIA
 
Resources



 

WAREHOUSE

 

SUPERMARKET

 
Services



 

WAIT FOR USERS STAFF AUTHORITY
 
PROMOTE USE
USER EMPOWERMENT
 
Users



 


(Stuert, Robert: Library and Information Center Management, 2002)
Bagan di atas menekankan pada tiga hal fundamental dalam sebuah institusi perpustakaan atau pusat informasi yakni:
  1. Resources / sumber daya
Ada perubahan dan pergeseran dalam pemanfaatan sumber daya. Apabila pada awalnya sumber daya hanya dimiliki dan dimanfaatkan sendiri dan media yang digunakan sangat terbatas, maka pada saat ini sumber daya harus dipikirkan untuk dapat di-sharing dalam wadah yang lebih luas dan berorientasi pada pemanfaatan multiple media atau berbagai ragam media. Hal ini penting karena ada keterbatasan pada tiap-tiap organisasi/institusi perpustakaan dalam menyediakan sumber dayanya. Untuk itu mau tidak mau perpustakaan harus dapat meningkatkan kerjasama baik melalui forum-forum kerjasama maupun hubungan secara langsung. Hal lain tentunya perpustakaan harus dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang memudahkan perpustakaan untuk melakukan sharing informasi melalui apa yang disebut sebagai virtual library.
  1. Services / Layanan
Cara pelayanan dalam bidang informasi atau perpustakaan ini juga mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan jaman. Pelayanan tidak lagi hanya hanya berorientasi pada pelayanan di dalam saja (internal) tetapi harus mempunyai pandangan yang lebih universal bagi akses informasi, kolaborasi, dan sharing sumberdaya dan layanan. Konsep cara pelayanannya pun sudah harus lebih bervariasi seperti halnya supermarket, bahkan mungkin hypermarket. Perpustakaan dan pusat informasi diharuskan dapat memberikan berbagai pelayanan yang dibutuhkan oleh pengguna yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Seperti layaknya supermarket, maka perpustakaan atau pusat informasi yang dapat memberikan pelayanan lebih bervariasi, murah dan cepat akan memuaskan pengguna dan mendatangkan pengguna lebih banyak lagi.
  1. Users / Pengguna
Perlakuan terhadap pengguna dan perilaku tenaga perpustakaan/pusat informasi juga hendaknya mengalami perubahan. Sudah saatnya staf perpustakaan tidak hanya sebagai “penjaga buku” atau koleksi dan menunggu datangnya pengguna tanpa melakukan usaha apapun untuk mendatangkan pengguna. Sudah saatnya perpustakaan melakukan promosi dan memberikan gambaran-gambaran kepada pengguna mengenai bagaimana perpustakaan dapat menjawab kebutuhan informasi mereka. Pengguna juga perlu diberdayagunakan, dididik dan dimanfaatkan untuk perkembangan perpustakaan. Perpustakaan perlu lebih terbuka terhadap kemauan dan keinginan pengguna serta dapat memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan perpustakaan semaksimal mungkin.
Akhirnya diharapkan dari perubahan ini maka akan terjadi sinergitas antara pengguna dan petugas perpustakaan. Keduanya akan saling mendukung dalam pengelolaan dan pengembangan perpustakaan.
Untuk itu perpustakaan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi ke depannya harus dapat pula menjawab tantangan bagi perubahan paradigma di atas. Hal ini penting agar perpustakaan perguruan tinggi selalu dapat mengikuti perubahan-perubahan di dunia ilmu pengetahuan yang kadangkala tidak dapat diprediksi, dihentikan dan dikontrol.

Peranan “Liaison Librarian

Salah satu hal yang saat ini belum penulis lihat cukup berperan dalam sebuah perpustakaan terutama perpustakaan perguruan tinggi adalah adanya “Liaison Librarian” atau dapat juga disebut sebagai pustakawan penghubung. Yang dimaksudkan dengan “Liaison Librarian” disini adalah orang yang bertugas membantu pengguna perpustakaan dalam memanfaatkan segala macam sumber informasi dalam sebuah bidang tertentu yang terdapat di perpustakaan.
Dari beberapa kunjungan yang dilakukan oleh penulis dalam beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ternyata penulis belum melihat adanya informasi mengenai liaison librarian ini. Hal ini cukup mengherankan, karena melalui liaison librarian inilah visi perpustakaan dalam memberikan total quality services dapat terpenuhi. Liaison librarian sendiri memang membutuhkan seorang tenaga yang menguasai dalam bidang tertentu. Misal, untuk bidang social maka dapat ditangani oleh satu orang liaison librarian, kemudian juga untuk bidang teknik dapat ditangani oleh satu orang liaison librarian. Bahkan liaison librarian ini tidak hanya sebagai penghubung, tapi juga berfungsi sebagai pembimbing, pendidik, pemberi informasi dan penasehat terhadap sebuah informasi yang dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan. Liaison librarian ini sangat berperan dalam penemuan informasi yang tepat dan akurat bagi pengguna perpustakaan.
Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus mampu menyediakan liaison librarian sebagai salah satu garda terdepan pelayanan di perpustakaan. Sehingga pengguna perpustakaan akan semakin merasakan manfaatnya ketika datang ke perpustakaan.

Konsep Perpustakaan “Hybrid”

“A hybrid library is a library where 'new' electronic information resources and 'traditional' hardcopy resources co-exist and are brought together in an integrated information service, accessed via electronic gateways available both on-site, like a traditional library, and remotely via the Internet or local computer networks.” (http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html. Diakses 19 Oktober 2005)
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan perpustakaan “hybrid” adalah merupakan bentuk perpaduan antara perpustakaan tradisional dan perpustakaan digital/elektronik.
Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan perguruan tinggi saat ini secara tidak sadar dan langsung telah mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini. Hanya saja hal itu masih kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep perpustakaan hybrid ini tidak bisa dipisahkan. Artinya antara pengembangan resources dalam bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan pengembangan resources “digital/elektronik”. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber yang berupa buku dengan sumber-sumber yang dapat diakses secara elektronik/digital. Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi.
Jadi dalam perpustakaan hybrid ini, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik atau virtual, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus dapat menerapkan konsep perpustakaan hybrid ini secara lebih “benar” sehingga pengembangan perpustakaan lebih terarah dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan terkesan hanya mengikuti trend belaka. Hal lain adalah perubahan paradigma informasi seperti yang disampaikan Stuert, akan dapat dijaga dengan penerapan yang benar terhadap apa yang dinamakan perpustakaan hybrid ini.

Penutup

Perpustakaan perguruan tinggi ke depan pada intinya harus dapat menjawab tantangan perubahan paradigma informasi. Perpustakaan harus dapat memberikan ruang akses yang lebih baik kepada sumber dayanya, penggunanya, dan layanannya. Perpustakaan juga perlu kembali mencermati kendala-kendala yang ada sehingga ke depan dapat mengatasi berbagai kendala dengan baik. Sudah saatnya bagi perpustakaan untuk memfokuskan diri pada mutu pelayanan dengan melibatkan pustakawan secara lebih aktif melalui apa yang disebut dengan liaison librarian dan juga menerapkan secara utuh dan lengkap konsep perpustakaan hybrid.

Daftar Bacaan
Hutton, Angelina. 2001. The Hybrid Library. http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html diakses tanggal 19 Oktober 2005.
Qalyubi, Syihabuddin dkk. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Cetakan 1, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Stuert, Robert D. and Barbara B. Moran. 2002. Library and Information Center Management. 6th edition. Greenwood Village, Colorado: Libraries Unlimited.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyo-Basuki. 1994. Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya .
Zheng  Ye (Lan) Yang. 2000. University’s Faculty Perception of a Library Liaison Program: A Case Study. The Journal of Academic Librarianship, Volume 26. Number 2, pages. 124-128.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar